Bermain di Sekolah
Sinar matahari siang itu begitu menyengat. Namun, Alesha masih saja bergeming, meski ayahnya
beberapa kali mengajaknya pulang. Dia asyik bermain bersama seorang temannya di lapangan basket.
Padahal, sebagian banyak murid di sekolahnya sudah pulang.
"Sebentar lagi yah, aku mau main dulu sama temenku, ayah duduk aja di situ," jawab Alesha, sembari
berjalan mendekat ke arah temannya, dengan menggenggam selembar daun dan kerikil.
Untungnya sang ayah sedang libur, sehingga bisa menunggu Alesha berlama-lama bermain di sekolah.
Alesha memang bersemangat, sejak masuk sekolah dasar Al Fazza, sekolah alam yang beralamat di
Kompleks Permata Puri, Cimanggis, Kota Depok. Hampir setiap pulang sekolah, dia berlama-lama
bermain di sekolah.
Alesha menganggap sekolahnya seperti tempat bermain. Tak ada beban. Hari-harinya tidak ada
pekerjaan rumah dari gurunya. Sesuai tema sekolah, Al Fazza menawarkan konsep belajar dan
berpengalaman.
Hari-hari Alesha yang masih duduk di bangku kelas satu itu, selalu bersemangat saat berangkat ke
sekolah. Apalagi, saat ibu sudah menyiapkan bekal untuk makan siang di tasnya.
Pagi hari saat diantar ibu atau ayahnya ke sekolah, bocah tujuh tahun itu sering berpesan agar dijemput
terlambat, supaya dia bisa bermain berlama-lama di sekolah.
Sama seperti kakanya, Tsabit, yang masih duduk di bangku TK di sekolah yang sama, juga kini
bersemangat saat berangkat sekolah. Dia paling suka bermain outbond.
Awalnya, ibu dan ayahnya khawatir dengan kepribadiannya yang introvert. Sulit membaur dengan
teman barunya di sekolah. Bahkan, beberapa hari awal masuk sekolah dia sempat menangis saat diantar
ke sekolah.
Tsabit tergolong anak yang pemalu, suka menyendiri namun senang berpetualang, dan mencoba hal
baru. Dia suka permainan yang ekstrem untuk anak seusianya.
Tsabit hampir kebalikan dengan Alesha, anak gadis yang sepertinya tidak punya lelah dan suka
berteman. Tapi di luar dugaan orang tua, perkembangan Tsabit di sekolah cukup drastis. Mereka punya
keunikan serta kekurangan dan kelebihan masing-masing. Keduanya punya cara tersendiri untuk
menjadi versi terbaik bagi dirinya masing-masing. Karena Allah SWT telah menciptakan kita berbeda-
beda.
Tsabit yang di rumah selalu bergantung dan manja pada orang tua, perlahan mulai mandiri di sekolah.
Bahkan, mulai membaur dengan teman-teman sekelasnya. Hobinya banyak tersalurkan di sekolah.
Setiap pulang sekolah, Alesha dan Tsabit berebut bercerita pengalaman di sekolah pada ibu atau
ayahnya. Keduanya sama-sama ingin lebih dulu bercerita. Tak hanya bercerita pada orang tua, Alesha
juga gemar membuat jurnal untuk menceritakan pengalaman hari-harinya di sekolah.
Merdeka
Merdeka, berasal dari istilah sansekerta maharddikha yang berarti kaya, sejahtera, dan kuat
(wikipedia.org). Merdeka dimaknai juga bebas dari segala belenggu, aturan, dan kekuasaan pihak
tertentu (KBBI).
Merdeka, bukan hanya milik negara yang tebebas dari penjajah.
Merdeka juga milik individu, termasuk anak-anak Indonesia, anak kita. Salah satu hak merdeka untuk
mereka yakni merdeka (cara) belajar.
Belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman
atau latihan yang diperkuat. (Wikipedia.org)
Setiap orang pasti melalui tahap belajar. Tapi seringkali kita menemukan tahapan belajar yang tidak
merdeka.
Tapi tidak dengan konsep sekolah alam, yang menyuguhkan kemerdekaan belajar bagi siswa, bahkan
bagi gurunya.
Belajar bersama alam, bisa menjadikan pengalaman baik untuk anak-anak. Seperti dua hal karakter anak
yang diceritakan sebelumnya. Mereka memiliki sifat berbeda, dan di sekolah alam ini tidak memaksa
mereka menjadi salah satu karakter yang dianggap baik. Mereka 'dibiarkan' menjadi versinya masing-
masing, dengan cara yang baik dan benar tentunya.
Mereka bebas belajar, sehingga dapat menikmati setiap alur perjalanan ataupengalaman belajar dengan
pengalaman.
Salah satu tujuan Allah SWT membentuk alam, yaitu sebagai bahan pembelajaran untuk kita. Karena di
alam kita bisa banyak mengetahui segala konsep.
Fitrah
Masih dalam konteks merdeka, fitrah anak-anak adalah bermain. Di lingkungan sekolah alam mereka
memang terlihat bermain. Bebas tanpa beban. Mereka tidak menyadari dalam bermain itu ada unsur
belajar.
Inilah yang dikatakan merdeka belajar. Mereka belajar tanpa ada paksaan. Dan juga mereka belajar
bersamaan dengan fitrah sesungguhnya yaitu bermain.
Penulis : Nurshadrina Khairani Ardedah